BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Kedudukan pers
umumnya dan pers Indonesia khusunya merupakan sarana sosialisasi (per
excellentium) dimana semua jenis pesan yang pada awalnya merupakan milik
pribadi telah disosialisasikan menjadi milik umum ketika pesan berpindah ke
media massa/pers,sehingga menjadi forum publik.
Dilema yang
dihadapi pers Indonesia antara lain, dari segi historis (sejarah) pers adalah
alat perjuangan nasional melawan penjajah sehingga apakah pada masa
pemerintahan kini sikap mengkritik masih dominan, ataukah mengambil sikap
melaksanakan fungsi secara esensial pers itu sendiri.
II. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
rumusan masalah pada makalah ini adalah :
a. Pengertian
Pengertian PERS yang Bebas dan Bertanggung Jawab
b. Hakikat Pers Umumnya Dan Pers Di Indonesia
c. Pengaruh Sistem
Ideologi Terhadap Sistem Pers
d. Pendekatan Paradigma
Ilmu-Ilmu Sosial
III. TUJUAN
a.
Untuk mengetahui arti
pentingnya pers di zaman sekarang
b. Untuk menambah wawasan
pembaca mengenai pers yang bebas dan bertanggung jawab
c.
Sebagai wadah
pembelajaran bagi pembaca
d. Sebagai tolak ukur kita
untuk memahami mengenai pers yang bebas dan bertanggung jawab
e.
Untuk memenuhi tugas
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian PERS yang
Bebas dan Bertanggung Jawab
Kebebasan pers (bahasa Inggris: freedom of the press)
adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang
berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar
luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam
material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari
pemerintah
Pers
yang bebas dan bertanggung jawab merupakan konsep yang didambakan dalam
pertumbuhan pers di Indonesia . Pers yang bebas dan merdeka di sini bukan bebas
yang sebebas-bebasnya. Bebas dan merdeka dapat diartikan terbebas dari segala
tekanan, paksaan atau penindasan dari pihak manapun termasuk pemerintah negara
atau pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, pers dapat bebas dan berekspresi
tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun tetapi tidak mengabaikan etika,
nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku, serta memegang teguh kode etik
jurnalistik sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
2.
Hakikat Pers Umumnya Dan Pers Di Indonesia
Sejarah intelektual menyepakati suatu pendapat yang
dimaksudkan dengan pers menurut Mott (1969) adalah: variasi media yang
dikelompokan atas lima: (1) newspaper (surat kabar); (2) general magazine and
review (majalah umum dan laporan); (3) class, trade, and proffesionals journals
(jurnal untuk satu kelompok masyarakat tertentu, profesi tertentu, kepentingan
perdagangan; (4) news magazine digest (majalah berita, dan majalah telaahan);
(5) radio dan televisi.Dari kelima pengelompokan itu penulis menganalisis pers
dalam artian pers cetak untuk umum (surat kabar dan majalah).
Secara
teoritik peranan pers pada umumnya menggambarkan fungsi utama dari publisistik
sebagaimana diungkapkan Susanto (1977) yaitu: (1) memberikan penerangan
(informasi); (2) mendidik; (3) menghibur; (4) mempengaruhi.Begitu luas
jangkauan peranan pers di tengah-tengah masyarakat serta pemerintah maka
menurut Fischer (1968) bahwa pers dapat menciptakan pengaruh timbal balik
antara pers, masyarakat, pemerintah. Maka pers sebagai media komunikasi massa
memiliki aspek lain yaitu “ubiquitous” (serba hadir) dan serba makna.
Mengapa ada
sifat pers seperti itu? Arifin (1986) mengemukakan bahwa sifat serba hadir
berarti peranan pers itu ada dimana saja, kapan saja, pada suasana dan konteks
apapun; sedangkan sifat serba makna berarti komunikasi secara operasional dapat
berarti jamak (terlihat dalam pengkajian definisinya antara lain dapat berarti,
proses, peristiwa, ilmu, kiat, dipahami, hubungan/saling berhubungan, saling
pengertian, dan pesan).
Justru itulah
maka mempelajari pers dari segi sejarah intelektual sama dengan mempelajari
perkembangan kesadaran masyarakat. Karena pers dapat merupakan cermin yang
memantulkan lukisan masyarakat dengan segala dinamikanya, bahkan dapat
menghidangkan filsafat yang memberi landasan paradigma tentang apa yang sedang
terjadi. Akibatnya kita tidak perlu merasa heran bahwa warna isi pers itu
bervariasi tentang semua bidang kehidupan manusia. Sampai disini benarlah
ungkapan Mc.Luhan bahwa, media massa umumnya bertindak sebagai the extension of
man(pernyataan keberadaan manusia) dalam wujud pembawaan kodratnya misalnya
dalam hasrat menyatakan diri, berdialog, menyerap apa yang dilihat dan
didiengarnya dan bersatu, bergaul dengan lingkungan dan dengan proses itu pers
menyatakan dan mengembangkan perikehidupan bermasyarakat. Kalau ini dikehendaki
maka tanpa jaminan kebebasan dan keleluasaan dalam memilih, mencari,
mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi yang diperolehnya dari
penguasa/pemerintah maka pers sulit bertanggung jawab karena pers sendiri tidak
bebas bertindak.
Dalam merealisasikan kebebasan itu tentu ditempuh berbagai cara yang sesuai dengan konstitusi dan sistem hukum nasional, disinilah fungsi regulasi dan pemerintah dimunculkan.
Menurut Bridge (1983) bahwa, satu hal yang pasti, komunikasi menjadi demikian pentingnya di negara yang sistem medianya juga dimiliki oleh swasta, sehingga negara membuat pengaturan yang mengikat. Dan kalau terjadi kontrol pemerintah maka apa yang harus dipertahankan pers?
Dalam merealisasikan kebebasan itu tentu ditempuh berbagai cara yang sesuai dengan konstitusi dan sistem hukum nasional, disinilah fungsi regulasi dan pemerintah dimunculkan.
Menurut Bridge (1983) bahwa, satu hal yang pasti, komunikasi menjadi demikian pentingnya di negara yang sistem medianya juga dimiliki oleh swasta, sehingga negara membuat pengaturan yang mengikat. Dan kalau terjadi kontrol pemerintah maka apa yang harus dipertahankan pers?
Maka Rauel Barlow
seraya mengutip pendapat Alexander Hamilton dalam Mott (1969) bahwa, kebebasan
pers itu sebenarnya terdiri dari pernyataan pikiran-pikiranku dalam
menyebarluaskan kebenaran, dari dorongan yang murni demi kepentingan keadilan
yang dicita-citakan, walaupun harus mencela pemerintah maupun pribadi para
pemimpinnya sekalipun. Sehingga sikap pers harus melawan dengan mempertahankan
keberadaannya secara esensial.
Permasalah pers
pada umumnya sebagaimana dilukiskan di atas terjadi pula di Indonesia, hanya
tentunya dipengaruhi kuat oleh warna ideologi negaranya Pancasila.
Dalam UU Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, pers diartikan sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Yang menarik adalah perubahan beberapa terminologi. Misalnya perkataan revolusi (sebelum dalam UU Nomor 11 Tahun 1966) diganti dengan perjuangan nasional. Pancasila, pembangunan. Dua kata terakhir ini dalam tiga dekade terakhir menyebarluas sebagai konsep kunci, bukan saja oleh pers tetapi dalam kehidupan masyarakat. Dan semua kekuatan masyarakat (termasuk pers) diarahkan untuk senantiasa mengamankannya, ini membuktikan bahwa ikatan keberadaan pers sangat kuat ditentukan oleh mati hidupnya suatu ideologi maupun pengalaman ideologi (pembangunan sebagai pengamalan ideologi).
Dalam UU Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982, pers diartikan sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu. Yang menarik adalah perubahan beberapa terminologi. Misalnya perkataan revolusi (sebelum dalam UU Nomor 11 Tahun 1966) diganti dengan perjuangan nasional. Pancasila, pembangunan. Dua kata terakhir ini dalam tiga dekade terakhir menyebarluas sebagai konsep kunci, bukan saja oleh pers tetapi dalam kehidupan masyarakat. Dan semua kekuatan masyarakat (termasuk pers) diarahkan untuk senantiasa mengamankannya, ini membuktikan bahwa ikatan keberadaan pers sangat kuat ditentukan oleh mati hidupnya suatu ideologi maupun pengalaman ideologi (pembangunan sebagai pengamalan ideologi).
Demikian pula,
misalnya pers Pancasila sebagai suatu paradigma, pers Indonesia merupakan
kelanjutan perubahan dan perkembangan gagasan intelektual masa lalu yang masih
relevan untuk terus dikaji secara intelektual. Itulah sebabnya maka pertanyaan
mengenai apa, mengapa, bagaimana seharusnya pers Pancasila jaul lebih penting
secara akademik yang merangsang kita untuk mencari rumusan yang pas.
3.
PENGARUH SISTEM IDEOLOGI TERHADAP SISTEM PERS
Mott (1969) membagi sistem pers
(dalam hubungannya dengan pemerintah) atas dua macam. Pertama, kelompok yang
mempunyai kemungkinan mengkritik dan mencela pemerintah (pers bebas) (1) pers
semi bebas; (2) pers sistem komunis Soviyet; (3) dan sistem fasis (contohnya
dibawah Hitler dan Mussolini). Kedua, terdiri dari tipe pers yang berpegang
teguh pada prinsipnya (fungsinya) dengan tekanan pada opini, dan pers yang
menekankan pada informasi dari berita/news. Kemudian yang bertipe fungsi opini
adalah yang tertua karena dimanfaatkan secara sepihak oleh pemerintah, dan tipe
yang menekankan pada news banyak dianut di negara kapitalis/liberal.
Kedua kelompok ini menurut (Wright,
1986); (Effendy, 1986); dan (Wilson, 1989), secara tepat membagi dalam empat
kategori, yaitu (1) pers bersistem komunis Soviyet; (2) liberal; (3) otoriter;
(4) tanggung jawab sosial.
Isi ringkasan keempat sistem pers itu adalah sebagai
berikut:
1. Sistem otoriter mengajarkan bahwa baik media
pemerintah maupun swasta tergantung pada pemerintah. Pengekangan dilakukan
melalui berbagai metode, misalnya prosedur-prosedur izin, sensor yang keras;
2. Sistem liberal, mengajarkan bahwa kebebasan media
tanpa batas kontrol dari pemerintah;
3. Teori komunis Soviyet, mengajarkan peranan pers (radio, televisi, dan film) harus memperoleh mandat penuh dari partai komunis/pemerintah karena fasilitas itu harus digunakan untuk propaganda partai tentang manfestonya;
3. Teori komunis Soviyet, mengajarkan peranan pers (radio, televisi, dan film) harus memperoleh mandat penuh dari partai komunis/pemerintah karena fasilitas itu harus digunakan untuk propaganda partai tentang manfestonya;
4. Teori tanggung jawab sosial, mengajarkan tanggung
jawab moral dan sosial orang ataupun lembaga-lembaga yang menjalankan media
massa. Diantara tanggung jawab ini termasuk kewajiban memberikan informasi dan
diskusi terhadap publik tentang masalah-masalah sosial yang penting dan
menghindari aktivitas-aktivitas yang merugikan masyarakat.
Bagaimana sistem pers di Indonesia?
Ini lah pertanyaan mendasar dari kajian ini. Kaitan pers Indonesia dengan
sejarah sosial politik yang membentuknya sangatlah erat.
Arifin (1988) berpendapat bahwa: pers Indonesia/pers nasional yang sekaligus membedakannya dengan pers Cina maupun pers Belanda, yaitu adanya konsep perjuangan dan kerakyatan. Karakteristik pers perjuangan nampak pada orientasinya pada nasionalisme, kemerdekaan dan kerakyatan, tidak komersial. Dengan kata lain, pers lebih mengutamakan aspek politik dan ideologis daripada aspek bisnisnya. Dan ini dibuktikan dengan definisi keberadaannya dalam UU Pokok Pers seperti yang diuraikan diatas.
Arifin (1988) berpendapat bahwa: pers Indonesia/pers nasional yang sekaligus membedakannya dengan pers Cina maupun pers Belanda, yaitu adanya konsep perjuangan dan kerakyatan. Karakteristik pers perjuangan nampak pada orientasinya pada nasionalisme, kemerdekaan dan kerakyatan, tidak komersial. Dengan kata lain, pers lebih mengutamakan aspek politik dan ideologis daripada aspek bisnisnya. Dan ini dibuktikan dengan definisi keberadaannya dalam UU Pokok Pers seperti yang diuraikan diatas.
Di sisi lainkonsep rakyat/kerakyatan
yang mendominasi alam pikiran tokoh-tokoh pers dan pimpinan nasional terlihat
dengan jelas antara lain pada nama motto dari surat kabar, misalnya nama
Pikiran Rakyat, Pedoman Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Duta Masyarakat, Panji
Masyarakat. Pergeseran-pergeseran kata-kata kunci dalam UU tersebut sebenarnya
merupakan obyek kajian intelektual sendiri yang menarik untuk dikaji.
Lalu bagaimana posisi pers Indonesia sekarang ini? Apakah tetap mewakili aspirasi rakyat dan terus menerus mengkritik pemerintah secara berlebihan ataupun tetap hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah?
Lalu bagaimana posisi pers Indonesia sekarang ini? Apakah tetap mewakili aspirasi rakyat dan terus menerus mengkritik pemerintah secara berlebihan ataupun tetap hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah?
Kleden (1989) mengungkap bahwa
setelah fase perjuangan selesai pers Indonesia memasuki era pers pembangunan.
Pers pembangunan (untuk menerangkan pendapat Oetama) mempunyai tiga yugas
utama, yaitu memberikan informasi tentang pembangunan, melakukan interpretasi
terhadap informasi yang diberikan, dan selanjutnya mendukung informasi dan
interpretasi itu dengan tulisan yang bersifat promosi supaya informasi tersebut
diterima dan dijalankan secara operasional.
Dalam hal ini, maka pers pembangunan
memperlihatkan beberapa perubahan yang menarik. Pertama, dibandingkan dengan
pers perjuangan yang lebih memusatkan perhatian pada masalah sosial politik,
maka pers pembangunan memperluas perhatiannya juga ke bidang sosial ekonomi.
Kedua, jika pers perjuangan sangat menekankan segi kontrol, maka pers
pembangunan memberi perhatian besar kepada segi promosi dan persuasi. Ketiga,
Jika dalam perannya yang konvensional pers mempertahankan suatu jarak dengan
pihak eksekutif agar dapat mengawasinya, maka dalam pers pembangunan hubungan
pers dengan eksekutif tampaknya lebih dekat karena sama-sama berkepentingan
terhadap gagasan pembangunan dan pelaksanaannnya. Dalam kasus Indonesia muncul
kemudian gagasan bahwa pers tidak lagi cukup hanya berperan sebagai kritikus
pemerintah, tetapi juga harus menjadi mitra pemerintah.
Kleden (1989) juga melanjutkan bahwa, pada titik inilah terlihat bahwa pers Indonesia mencoba menempuh suatu via media (jalan tengah) antara pers yang liberal dengan pers yang hidup di negara-negara totaliter. Jika di negara-negara liberal pers menjadi “watch-dog” terhadap pemerintah, dan jika di negara-negara totaliter pers menjadi perpanjangan tangan pemerintah, maka pers Indonesia berusaha untuk menjadi mata pemerintah dengan tetap mempertahankan fungsi kontrol sosialnya.
Kleden (1989) juga melanjutkan bahwa, pada titik inilah terlihat bahwa pers Indonesia mencoba menempuh suatu via media (jalan tengah) antara pers yang liberal dengan pers yang hidup di negara-negara totaliter. Jika di negara-negara liberal pers menjadi “watch-dog” terhadap pemerintah, dan jika di negara-negara totaliter pers menjadi perpanjangan tangan pemerintah, maka pers Indonesia berusaha untuk menjadi mata pemerintah dengan tetap mempertahankan fungsi kontrol sosialnya.
Oleh karenanya, kita harus melakukan
eksperimen yang terus menerus terhadap suatu sistem pers Indonesia yang ideal
yakni sistem pers Pancasila yang paling tidak memiliki ciri khas tersendiri dan
bukan gabungan elaktik antara unsur-unsur yang baik dari dua sistem yang telah
disebutkan itu. Ini juga berarti bahwa pers Pancasila selain merupakan sebuah
eksperimen ideologis (yaitu bagaimana menerjemahkan ideologi Pancasila dalam
kehidupan pers), sebetulnya sekaligus eksperimen sosial-budaya (yaitu bagaimana
menerapkan asas-asas pers umpamanya ke dalam sistem sosial dan sistem budaya
masyarakat Indonesia).
Apabila ciri ini dipahami dan terus
menerus dikaji maka terbinalah hubungan pers dengan pemerintah, pers dengan
rakyat dalam mempertahankan tatanan ideologi Pancasila. Benarlah menurut Oetama
(1989) bahwa hubungan pers dengan pemerintah dalam sistem demokrasi Indonesia
dewasa ini buknlah tunduk, tidak juga bermusuhan, tetapi sering disebut
“partnership”, interaksi postif dan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di
Menado diusulkan untuk diubah menjadi interaksi konstruktif.
Adakah sumbangan ilmu-ilmu sosial khususnya komunikasi
dalam dilematis peranan pers yang bebas dan bertanggung jawab seperti
digambarkan tersebut?
4.
PENDEKATAN PARADIGMA ILMU-ILMU SOSIAL
Menarik bahwa suatu pemikiran sosial yang dianut dan
diterima secara luas tidak selalu yang paling unggul dan benar. Sebaliknya,
tidak setiap pemikiran yang seakan dilupakan orang, dengan sendirinya kurang
unggul atau tidak banyak mengandung kebenaran. Yang dapat dipastikan adalah
bahwa gagasan yang diterima luas adalah yang paling siap memenuhi suatu
kebutuhan sosial. Pada artian inilah terjadi konflik antara epistemologi
pengetahuan berdasarkan ukuran-ukuran rasional; sedangkan yang lain ingin
menyelidiki asal usul sosial dan pengaruh sosial dari sebuah sistem
pengetahuan, di mana objektivitas dianggap tercapai bila semua prasangka sosial
yang ada dalam sebuah paham sudah dieliminasikan.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pers
yang bebas dan merdeka di sini bukan bebas yang sebebas-bebasnya. Bebas dan
merdeka dapat diartikan terbebas dari segala tekanan, paksaan atau penindasan
dari pihak manapun termasuk pemerintah negara atau pihak-pihak tertentu. Dengan
demikian, pers dapat bebas dan berekspresi tanpa tekanan dan paksaan dari pihak
manapun tetapi tidak mengabaikan etika, nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku, serta memegang teguh kode etik jurnalistik sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan.
Kedudukan pers umumnya dan pers
Indonesia khusunya merupakan sarana sosialisasi (per excellentium) dimana semua
jenis pesan yang pada awalnya merupakan milik pribadi telah disosialisasikan
menjadi milik umum ketika pesan berpindah ke media massa/pers, sehingga menjadi
forum publik.
Pengaruh penerapan
sistem pers di dunia, ikut memberi warna (termasuk Indonesia menjadi
dilematis). Ada empat teori tentang sistem pers, (1) sistem otoriter; (2)
sistem liberal; (3) sistem komunis Soviyet; (4) sistem tanggung jawab sosial.
Pers Indonesia nampaknya mengambil jalan tengah yang telah menggabungkan secara
efektif unsur-unsur pasitif dari sistem otoriter dengan sistem liberal, yang
dalam pelaksanaannya mengambil nama “tanggung jawab sosial (social
responsibility) sebagai pers yang bebas dan bertanggung jawab”.
Pendekatan paradigma ilmu-ilmu
sosial dengan empat teori, yaitu (1) teori ilmu pengetahuan sosial; (2) teori
normatif; (3) teori normatif-praktis; (4) teori common sense. Telah memberikan
masukan dalam memecahkan dilema pers Indonesia sebagai suatu eksperimen
ideologis maupun eksperimen sosial udaya. Diharapkan model ini akan
meningkatkan tanggung jawab pers Indonesia dalam fungsi-fungsi, dan juga ikut
meletakan peranan lain dari sistem sebaran informasinya untuk legitimasi nilai,
kontrol sosial, dan rekayasa sosial.
2. Saran
Pers di indonesia hendaknya menjadi pers yang dapat
bekerja sebagai pemberi informasi yang baik. Sehingga nantinya informasi yang
didapatkan oleh masyarakat adalah informasi yang bermutu. Kebebasan yang
didapatkan oleh pers seharusna bisa menunjang kerja pers, sehinnga informasi
yang dikeluarkan oleh pers dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://supremasihukumusahid.org/2012-06-05-13-58-03/mahasiswa/172-kontroversi-antara-kebebasan-pers-dan-ham-studi-kasus-tommy-winata-dengan-bambang-harimurti-sebagai-pimpinan-redaksi-majalah-tempo-yoseph-rudy-marison-sihombing.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_pers
http://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_pers